Artikel & OpiniHukum & Politik

Bolehkah Hakim Mahkamah Konstitusi Memberi Putusan Yang Tidak Ada di Petitum

Oleh: Juang Penanding 

Mahsiswa Fakultas Hukum UNIB

Dalam UUD Dasar 1945 Pasal 24C Butir (1) menyatakan bahawa “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Dari pasal 24C Butir 1 UUD 1945 sangat jelas dimana kewenangan Mahkamah Konstitusi disini ialah memberikan putusan atas perselisihan yang terjadi dalam hal yang telah disebutkan di atas.

Namun yang menjadi pertanyaannya ialah, apakah boleh Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan yang tidak ada di Petitum mengingat mahkamah konstitusi juga harus menjunjung tinggi asas-asas penyelengaraan peradilan yakni asas “ Ultra Petita” dimana melarang hakim memberikan putusan melebihi apa yang dituntut.

Dalam beberapa kali Mahkamah Konstitusi Mengeluarkan Putusan ada beberapa kali pula Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan dimana lebih dari apa yang diminta, seperti misalnya terjadi ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim agung. Dalam putusan pada 23 Agustus 2006, Mahkamah juga menyatakan Komisi tak berwenang mengawasi hakim konstitusi diminta hal yang tak diminta pemohon.

Putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi lainnya adalah ketika memutus uji materi atas UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ketika itu pemohon meminta Mahkamah membatalkan tiga pasal. Tapi, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi justru membatalkan seluruh undang-undang tersebut.

Selanjutnya ialah putusan Ultra Petita dalam hal Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 dimana pemohon PHPU dalam hal ini ialah Dr. H. Ujang Iskandar, ST., M.Si dan Bambang Purwanto, S.ST. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010, Nomor Urut 2 dalam petitumnya tidak menjelaskan dan meminta. Memerintahkan KPU Kabupaten Kotawaringin Barat untuk menerbitkan surat Keputusan yang menetapkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 yaitu Dr. H. Ujang Iskandar, ST., M.Si dan Bambang Purwanto, S.ST. sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010. Namun dalam kenyataanya putusan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan padahal kita ketahui bahwasanya untuk menetapkan Pasangan Calon Kepala Daerah maka yang berwenang ialah Kementerian dalam negeri dengan bersama-sama oleh KPU.

Dari beberapa Putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi diatas dimana dapat kita lihat bahwasnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan diluar dari apa yang diminta dalam Petitum pemohon, dalam hal ini penulis berpendapat bahwasannya Mahkamah Konstitusi berhak memberikan Putusan diluar dari petitum yang pemohon ajukan ke Mahkamah Konstitusi karena dalam peradilan juga ada prinsip yakni Ex Aequo Et Buno yakni artinya “ Kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.”

Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “

Ex aequo et bono sendiri berasal dari bahasa Latin. Kamus Juridisch Latin karya GRW Gokkel dan N van der Wal –yang kemudian dialihbahasakan S Adiwinata (1986), hanya mendefinisikan secara singkat frase tersebut sebagai “menurut keadilan”.

Dalam hal Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan yang ada, Mahkamah Konstitusi memiliki Prinsip Ex Aequo Et Buno (“kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya”) dan dalam hal kasus yang di sebutkan diatas dimana hakim mengeluarkan putusan di luar dari petitum yang di ajukan, karena hakim merasa bahwa masalah hukum dengan dilihat dari bukti-bukti yang ada sudah mencerminkan bahwah ada yang tidak baik dalam hal pembuatan Undang-undang maupun dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Termohon. Sehingga hakim berpendapat mengeluarkan putusan yang seadil-adilnya, Ini berarti ex aequo et bono sudah diterima pengadilan sebagai bagian dari gugatan. Frase tersebut biasanya diajukan sebagai tuntutan antisipatif, jika ternyata hakim tidak mengabulkan tuntutan pokok atau primer.

Namun diluar kemampuan masyarakat umum yang mengira apakah putusan yang dikeluarkan oleh hakim sudah adil, hakim juga harus bisa memegang kepercayaan bahwa kekuasaan kehakiman itu ialah kekuasaan yang sahkral yang akan dipertanggungjawabkan suatu saat nanti. Untuk itu dalam hal pemberian putusan hakim Mahkamah Konstitusi harus benar-benar memikirkan asas Kebermanfaatan Hukum, Keadilan Hukum, dan juga Kepastian Hukum.

Mengingat hanya hakim yang bisa mengetahui apakah semuanya sudah sesuai dengan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam hal memberikan Putusan baik itu pengujian Undang-undang maupun Perselisihan Hasil Pemilihan Umum mengingat apa yang telah di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi ialah berkenaan dengan kepentingan masyarakat umum yang akan menyangkut dengan hajat hidup masyarakat Indonesia, dan keberlangsungan Hukum si Negara Republik Indonesia.

SUMBER PUSTAKA :
Hukum Online
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010
Putusan Mahkamah Terkait uji materi atas UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button