Artikel & OpiniHukum & Politik

Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Memutuskan Sengketa DPT

Oleh : Muhammad Adrian Ivanphasyah

Mahasiswa Fakultas Hukum UNIB

Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga yang mempunyai fungsi besar sebagai the guardian and the intepreter of constitution (penjaga dan penafsir konstitusi). Mahkamah Konstitusi bukanlah penafsir Undang-undang atau tidak berwenang menafsirkan bunyi dan mengartikan lain dari bunyi Undang-undang. Namun, dengan amar putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bertindak bukan hanya sebagai penafsir Undang-undang Dasar saja tetapi juga penafsir Undang-undang.

Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai negatif legislator. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menghapus atau menghilangkan norma suatu Undang-undang jika memang bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah pembuat norma, karena yang berfungsi sebagai legislator atau yang berhak membuat norma perundang-undangan adalah DPR dan/atau Pemerintah.

Mahkamah Konstitusi memang diberi kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan kontrol dan review terhadap suatu Undang-undang yang dibuat oleh DPR atau Pemerintah, namun, Mahkamah Konstitusi tidak berhak membuat norma Undang-Undang atau merumuskan redaksional kalimat norma pengganti yang dinyatakan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Melangkahi sistem dan kerja seperti ini, berarti melangkahi kerja DPR dan Presiden yang berarti mencederai sistem chek and balance yang seharusnya dijunjung tinggi dalam ranah ketatanegaraan.

Menurut teori dasarnya hakim hanya boleh menerapkan undang-undang, tidak boleh menilai undang-undang. Setiap undang-undang yang sudah disahkan berlaku untuk umum dianggap sudah bersifat final dan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat yang berdaulat sebagaimana terwakili dalam keanggotaan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang bersama dengan pemerintah.

Terobosan cemerlang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi telah menyelamatkan hak-hak konstitusional banyak warga negara yang kehilangan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden sangat menyentuh rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat.  Hal ini sesuai dengan pandangan soko guru ilmu hukum Indonesia Satjipto Rahardjo dengan aliran progresifnya. Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa:

“A number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s objectivity.”

Menurut Satjipto Rahardjo, rangkaian permasalahan dalam dunia pengembanan hukum di Indonesia sudah luar biasa dan sudah sedemikian gawatnya. Penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan cara-cara hukum yang biasa dan konvensional. Oleh karena itu, diperlukan cara hukum yang luar biasa pula. Salah satu cara hukum luar biasa yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegaka hukum adalah suatu tipe  penegakan hukum progresif.

Penegakan hukum progesif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari pertauran (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum progesif dilakukan penuh dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadikan dikuatkannya hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut berkaitan dengan waktu pemilihan umum yang hanya tinggal dua hari, dan masalah DPT masih belum dapat diselesaikan oleh KPU, yang dikhawatirkan akan berpotensi menghilangkan hak kostitusional warga negara yang telah secara jelas dijamin oleh UUD 1945.

Pola putusan Mahkamah Konstitusi ini sangat sesuai dengan pola sistem hukum common law, dengan lebih mengedepankan rasa keadilan di tengah masyarakat tanpa terpaku pada teks yang di anut oleh positivis hukum.

Statutory concepts must be justified by demonstrating their provenan in statutory texts, so common law concepts must be justified by demonstrating their provenance in sound public policy.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sekaligus merupakan perwujudan cita-cita demokrasi serta cermin dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), karena sebelum adanya putusan tersebut, masyarakat berpotensi kehilangan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam DPT. Putusan Mahkamah Konstitusi  tersebut juga merupakan perwujudan Negara Hukum, karena melalui adanya putusan tersebut, maka, unsur-unsur negara hukum menurut AV. Dicey, seperti jaminan hak asasi manusia dalam undang-undang, persamaan kedudukan di hadapan hukum, supremasi hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan, dapat dipenuhi.

Implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dapat berjalan dengan baik, sehingga pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 dapat berjalan dengan lebih demokratis dibandingkan pemilihan umum legislatif, karena warga negara dapat menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan identitas kependudukan. Sebelumnya, ada banyak kalangan yang mengharapkan agar pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 ditunda untuk memperbaiki DPT, karena jika tidak diperbaiki, maka DPT tersebut akan mengancam hak pilih warga negara. Namun, dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan umum tahun 2009 dapat terlaksana dan tidak mengalami penundaan lagi. Apabila pemilihan umum ditunda lagi, maka akan berdampak bagi integritas KPU, di mana KPU akan dianggap tidak mampu menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan umum, yang akhirnya dapat mempengaruhi kredibilitas hasil pemilihan umum. Selain itu, penundaan jadwal pelaksanaan pemilihan umum juga tidak menjadi jaminan bahwa permasalahan DPT dapat segera diselesaikan. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah memberikan manfaat dan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak konstitusional warga negara untuk dapat memilih presiden dan wakil presidennya dalam pemilihan umum yang demokratis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button