Artikel & Opini

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945

Oleh : Putri Destia Maretha,

Mahasiswi Fakultas Hukum dari Universitas Bengkulu

Undang-undang 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan berkedudukan di Ibukota Negara, lembaga ini memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.

Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat Undang-Udang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU termasuk keseluruhannya; . Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi.

Pihak yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan bisa mengajukan Permohonan Judicial Review ke Mahkamah Kontitusi dengan ketentuan mempunyai legal standing yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Kontitusi. Bisa kita ambil contoh tentang pengajuan permohonan yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mocthar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim. Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan. Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut maka pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya.

Hak konstitusional yang dimiliki pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adail dan merugikan karena perkawinan Pemohon sah dan tidak adil. Sehingga Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar berkenaan memberikan keputusan untu menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, serta memohon Mahkamh Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Berdasarkan contoh Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diatas, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar putusan yang menyatakan: Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tentang perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darh,termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya, serta memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Contoh Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang diatas bisa kita lihat bahwa Kewenangan Mahkamah sangatlah penting dalam menimbang yang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasan kehakiman, salah satu kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat dalam hal ini semua keputusan harus dipatuhi dan diterapaka. Untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dalam menguji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo.

Related Articles

7 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button