Fenomena Kursi Kosong di PN Tubei: Pejabat Lebong Kompak “Mangkir” Saat Digugat Rakyat Sendiri
Bengkulusatu.com, Lebong – Pemandangan ironis tersaji di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Tubei, Rabu (17/12). Deretan kursi yang seharusnya diduduki oleh para pemegang kekuasaan tertinggi di Kabupaten Lebong tampak kosong melompong. Sidang perdana gugatan Citizen Lawsuit terkait petaka tambang emas ilegal yang diajukan warga, justru diwarnai aksi “tutup kuping” dari para pejabat daerah.
Absennya Bupati Lebong, jajaran Kepala Dinas, hingga para Camat dan Kades dalam sidang perdana ini bukan sekadar persoalan teknis kehadiran, melainkan menjadi sinyal buruk bagi integritas kepemimpinan daerah. Sikap ini dinilai sebagai bentuk arogansi birokrasi yang enggan berhadapan hukum dengan rakyatnya sendiri.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Ria Ayu Rosalin, SH, MH, sejatinya menjadi panggung pembuktian apakah pemerintah daerah peduli pada jeritan warganya soal kerusakan lingkungan. Namun, realitas di ruang sidang berkata lain.
Dari sepuluh pejabat negara yang menjadi tergugat, hanya kuasa hukum Ketua DPRD Kabupaten Lebong yang menampakkan batang hidungnya. Selebihnya nihil. Sosok Bupati Kabupaten Lebong, yang memegang mandat tertinggi eksekutif, tercatat mangkir tanpa kehadiran langsung.
Humas PN Kelas II Tubei, Cici Erya Utami, SH, MH, membeberkan fakta persidangan tersebut. “Total ada sepuluh pihak tergugat dari unsur pemerintah, mulai dari Bupati, Kepala Dinas PTSP, Dinas Lingkungan Hidup, Disperindagkop, hingga unsur pemerintah desa dan kelurahan. Mayoritas tidak hadir,” ungkapnya.
Ketidakhadiran ini memaksa majelis hakim menunda sidang hingga 7 Januari 2025. Sebuah penundaan yang memakan waktu dan biaya, hanya karena ketidakpatuhan para pihak yang seharusnya menjadi teladan hukum.
Mashuri, perwakilan enam warga yang menggugat, meluapkan kekecewaannya. Ia menilai ketidakhadiran para pejabat ini menunjukkan wajah asli birokrasi Lebong yang tidak kooperatif dan anti-kritik. Padahal, gugatan yang mereka layangkan menyangkut hajat hidup orang banyak: kehancuran sungai dan tanah akibat tambang ilegal yang dibiarkan tanpa pengawasan.
“Sangat mengecewakan. Ini menunjukkan kurangnya sikap kooperatif. Seharusnya sebagai pejabat publik, mereka hadir untuk memberikan klarifikasi dan pertanggungjawaban, bukan menghindar,” tegas Mashuri dengan nada tinggi.
Bagi penggugat, mangkirnya para pejabat memperkuat dugaan adanya pembiaran sistematis terhadap aktivitas penambangan emas ilegal dan jual beli emas mentah yang tidak memberikan kontribusi sepeserpun bagi negara, namun mewariskan kerusakan lingkungan yang parah bagi rakyat.
Ketidakhadiran massal ini memunculkan pertanyaan besar di benak publik: Apakah para pejabat Lebong takut menghadapi fakta hukum di persidangan? Atau mereka merasa kebal hukum sehingga menganggap enteng panggilan pengadilan?
Penundaan sidang ke awal tahun depan menjadi “kartu kuning” bagi para tergugat. Humas PN Tubei menegaskan bahwa penundaan ini untuk memberikan kesempatan memanggil para pihak secara patut.
“Kita berharap pada sidang lanjutan nanti, seluruh pejabat yang digugat punya nyali untuk hadir. Ini demi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat Lebong. Jangan sampai proses hukum ini dipermainkan,” tutup Mashuri.
Rakyat Lebong kini menunggu. Apakah pada 7 Januari 2025 nanti kursi-kursi kosong itu akan terisi oleh mereka yang mengaku pelayan rakyat, ataukah arogansi kekuasaan akan kembali dipertontonkan di ruang pengadilan?. [Trf]




