Kantor Desa Kerap Kosong, Pj Kades Talang Donok I Bentak Wartawan yang Bertanya
Arogansi Pejabat Desa Talang Donok I saat dikonfirmasi menjadi puncak gunung es dari dugaan kelumpuhan pelayanan dan krisis akuntabilitas yang mengkhianati amanah rakyat.

Bengkulusatu.com, Lebong – Amanah yang seharusnya diemban dengan penuh tanggung jawab justru dibalas dengan arogansi. Alih-alih memberikan penjelasan atas keluhan warga mengenai kantor desa yang kerap kosong pada jam kerja, Pejabat (Pj) Kepala Desa Talang Donok I, Hardi, justru menunjukkan sikap reaktif dan bernada tinggi. Insiden ini bukan sekadar potret buruknya disiplin, melainkan cermin retaknya komitmen pelayanan publik di tingkat paling dasar, tempat di mana negara seharusnya paling dekat dengan rakyatnya.
Pemandangan ironis telah menjadi santapan sehari-hari bagi warga Desa Talang Donok I, Kecamatan Topos. Harapan untuk mendapatkan pelayanan administrasi yang cepat dan efisien kerap pupus di depan pintu kantor desa yang terkunci rapat. Padahal, di dalam gedung yang semestinya menjadi pusat denyut nadi pelayanan itu, duduk para aparatur termasuk Pj Kades Hardi yang baru dilantik beberapa bulan lalu yang digaji dari anggaran negara untuk mengabdi.
Kondisi ini adalah cerminan nyata dari pelayanan publik yang lumpuh, di mana hak-hak warga untuk mengurus surat keterangan, administrasi kependudukan, hingga keperluan vital lainnya terabaikan begitu saja.
Puncak dari kegeraman publik terwujud ketika awak media mencoba menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Melalui upaya konfirmasi via pesan WhatsApp, pertanyaan sederhana mengenai alasan kekosongan kantor desa dilayangkan kepada Pj Kades Hardi. Bukannya jawaban informatif atau setidaknya janji perbaikan yang diterima, yang muncul justru ledakan emosi yang tak pantas diucapkan seorang pejabat publik.
“Ko Jano Maksud Nu Terbit nyo. Jano Klok Nu!” hardiknya dalam bahasa lokal Suku Rejang, yang jika diterjemahkan berarti, “Apa Maksud Kau Terbitkan Berita itu? Mau Kamu Apa?”
Kalimat singkat bernada gertakan itu sarat makna. Ia bukan sekadar jawaban marah, melainkan sebuah pertunjukan sikap antikritik, sebuah upaya membungkam pilar keempat demokrasi, dan sebuah cerminan kekuasaan yang digunakan untuk menutupi kelalaian, bukan untuk melayani.
Sikap ini secara langsung mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Desa dan peraturan turunannya. Seorang kepala desa adalah pelayan, bukan raja kecil yang tak bisa disentuh kritik. Ketidakhadiran mereka di kantor adalah pelanggaran disiplin serius, sementara reaksi marah atas pertanyaan adalah indikasi masalah yang lebih dalam: kultur kerja yang tidak sehat dan minimnya integritas.
“Kami ini rakyat kecil, butuh tanda tangan kades kadang untuk berobat atau urusan sekolah anak. Kalau kantornya selalu tutup, kami harus bagaimana? Rasanya seperti tidak dianggap ada,” keluh seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan.
Kini, bola panas bergulir liar ke tangan Pemerintah Kabupaten Lebong. Insiden ini adalah ujian nyata bagi efektivitas sistem pengawasan internal yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah (Sekda) melalui Inspektorat Daerah. Membiarkan Pj Kades dan perangkatnya terus bekerja dengan pola indisipliner dan arogansi sama saja dengan merestui pengkhianatan terhadap uang rakyat dan amanah jabatan.
Publik tidak hanya menuntut sanksi tegas, tetapi juga evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penunjukan dan pembinaan pejabat desa. Pertanyaan krusial yang menggantung kini adalah: seberapa serius Pemkab Lebong memandang hak dasar warganya untuk dilayani? Tindakan nyata yang cepat dan tegas, atau pembiaran yang akan semakin menggerus kepercayaan rakyat, akan menjadi jawaban atas nasib Desa Talang Donok I. [Trf]