Pasca Penggeledahan oleh Kejari Lebong, 168 Hari Tanpa Tersangka

Oleh : Domer Andiko
(Mahasiswa Fakultas Hukum, Pemerintahan, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka Bengkulu)
Angka tidak pernah berbohong. Dan hari ini, angka yang berbicara adalah 168. Tepat seratus enam puluh delapan hari telah berlalu sejak Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebong melakukan penggeledahan dramatis di kantor Dinas PUPR-Hub dan BKD terkait dugaan korupsi proyek pemeliharaan jalan senilai Rp1,1 miliar. Sebuah aksi yang pada 4 Januari 2025 lalu menjadi simbol harapan, kini menjelma menjadi penanda sebuah penantian panjang yang belum berujung.
Publik tentu belum lupa bagaimana hari itu, penyidik dengan sigap menyita sejumlah dokumen penting. Harapan membuncah saat Kepala Kejari Lebong, Evi Hasibuan, mengonfirmasi adanya indikasi kuat proyek fiktif dan manipulasi laporan. Dengan lebih dari 20 orang telah diperiksa, jalan menuju penetapan tersangka tampak begitu terang dan dekat. Masyarakat menanti, meyakini penegakan hukum sedang berjalan di rel yang benar.
Namun, 168 hari kemudian, rel itu seolah terputus. Belum ada satu pun nama yang diumumkan sebagai tersangka. Proses hukum yang awalnya berjalan cepat kini terasa melambat secara signifikan. Penjelasan resmi yang mengemuka adalah dua hal yang kerap menjadi standar dalam proses serupa: menunggu hasil audit kerugian negara dan keterbatasan personel.
Secara prosedural, kedua alasan tersebut dapat dipahami. Audit kerugian negara adalah elemen penting dalam pembuktian kasus korupsi, dan keterbatasan sumber daya adalah realitas yang dihadapi banyak institusi. Namun, rentang waktu 168 hari—hampir setengah tahun—tanpa penetapan tersangka dalam kasus yang diindikasikan “fiktif” secara alami menimbulkan pertanyaan mendasar tentang skala prioritas dan efektivitas penanganan.
Kelambanan ini memiliki dampak yang lebih besar dari sekadar urusan administrasi. Ia secara perlahan mengikis modal terpenting dalam penegakan hukum: kepercayaan publik. Janji penindakan yang tegas di awal kini kontras dengan kesunyian yang berkepanjangan. Publik tidak menuntut proses yang instan, namun mereka berhak mendapatkan kepastian dan progres yang terukur. Ketiadaan progres yang transparan menciptakan ruang bagi spekulasi dan meredupkan optimisme.
Ini bukan lagi soal pertunjukan kekuatan, melainkan soal penuntasan kewajiban. Gebrakan di awal telah berhasil menarik perhatian, namun yang akan dikenang pada akhirnya adalah hasil. Tanpa penetapan tersangka sebagai langkah hukum selanjutnya, seluruh rangkaian penyelidikan yang telah memakan waktu dan sumber daya ini berisiko menjadi sia-sia.
168 hari adalah sebuah fakta, bukan opini. Sebuah periode yang cukup panjang untuk sebuah kasus yang menjadi sorotan publik untuk menunjukkan perkembangan yang jelas. Kini, beban pembuktian sepenuhnya ada pada Kejari Lebong. Bukan lagi untuk membuktikan adanya korupsi, karena itu sudah mereka sinyalkan sejak awal, tetapi untuk membuktikan bahwa mereka mampu dan serius menuntaskan proses hukum ini hingga ke pengadilan.
Publik menunggu langkah konkret berikutnya. Sebab pada akhirnya, angka 168 bukan sekadar hitungan hari. Ia adalah barometer kepercayaan yang sedang diuji, dan hanya progres nyatalah yang dapat menjawabnya.