Problematika Judicial Review di Indonesia
Oleh : Riska Saifatul Husnah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Pengujian peraturan perundang-undangan dapat menjadi sebuah solusi yang tepat untuk membenahi keadaan yang negara Indonesia yang hiper-regulasi. Penataan regulasi sebagai jalan keluar dari kondisi tersebut dapat dilakukan melalui sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Pemisahan objek dan subjek pengujian peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengandung kelemahan dalam pelaksanaannya. Sebab apabila terjadi perbedaan keputusan terhadap objek yang diuji yang memiliki keterkaitan normatif secara vertikal, maka akan dapat menimbulkan kekacauan baik segi pelaksanaan putusan, maupun segi tertib hukum.
Pemikiran mengenai konsep pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) di Indonesia sebetulnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Pengujian peraturan perundang-undangan dalam desain UUD 1945 dengan memberikan dua lembaga (MA dan MK) untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan tidaklah dapat mengakhiri persoalan dan perdebatan yang ada selama ini. Justru memungkinkan timbul permasalah baru baik dalam tataran teoritis maupun dalam artikulasi empirisnya yang sudah barang tentu memicu perdebatan-perdebatan berikutnya. Di negara Indonesia ada dua lembaga (MA dan MK) yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dengan objek pengujian yang berbeda. Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Judicial Review di MA juga dapat dinilai berjalan tidak efektif dikarenakan beban perkara yang ditangani oleh MA setiap tahunnya dapat dikatakan melebihi batas kemampuannya. Besarnya beban perkara yang ditangani oleh MA setiap tahunnya tentu juga akan berimplikasi terhadap penyelesaian judicial review di MA.
MA memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangang di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memberi pertimbangan dalam hal pemberian garasi dan rehabilitasi oleh Presiden, serta mengajukan tiga orang hakim konstitusi. Sedangkan MK juga memiliki kewenangan lain selain Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 24C UUDNRI Tahun 1945, yaitu Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang; Memutus pembubaran partai politik; Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; Memutus Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya undang-undang saja yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ataupun hanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Namun pernah dijumpai adanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan dibawah undang dengan konstitusi, Selain itu permasalahan lain adalah adanya 2 (dua) lembaga yang berwenang dalam melakukan pengujian materi yang mengakibatkan tidak ada sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan paling bawah sampai dengan yang paling atas. Pada kenyatannya Pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak ideal. Karena bisa menyebabkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Problematika Konseptual
Dua lembaga yang berperan dalam judicial review sebagai pengawalan dan penegakkan konstitusi secara integral dan komprehensif mulai dari perda hingga UU terhadap UUD NRI 1945 akan sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan secara konseptual belum ada lembaga yang secara integral dan menyeluruh dapat mengawal penegakkan konstitusi untuk mereview seluruh peraturan perundang-undangan mulai tingkat bawah sampai pada lebih tertinggi agar sejalan dengan UUD NRI 1945.
Problematika Konflik Kelembagaan
Perbedaan putusan dalam penafsiran undang-undang dalam kasus pemilu 2009 salah satu contoh nyata, bahwa setiap saat konflik antar kelembagaan antara MA dan MK bisa mengancam disebabkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam menyelesaikan perkara judicial review. Kasus yang pernah terjadi pada tahun 2009 terkait dengan perkara metode penghitungan sisa suara pemilihan umum tahun 2009 terjadi perbedaan pendapat antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Berdasarkan Kasus pengujian peraturan KPU pada Pemilu 2009 memberikan pembelajaran bahwa begitu berbahaya apabila kewenangan judicial review dimiliki oleh dua institusi peradilan yang berbeda. Karena akan berpotensi terjadinya konflik antar lembaga. Maka perlu adanya pengintegrasian pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu lembaga yudisial agar dapat memperkuat pembangunan nasionl.
Penerapan judicial review dua atap akan menghambat penegakkan konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan, terutama peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Maka, dalam hal ini penting untuk menyatuatapkan kewenangan judicial review sehingga penegakkan konstitusi secara integral di dalam peraturan perundang-undangan akan tercapai, termasuk terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.