Artikel & Opini

Judicial Review; Konstitusionalkah?

Oleh : Lensi Nopiliana Putri

Lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai salah satu upaya penguatan prinsip checks and balances demi mewujudkan pemerintahan yang benar-benar terkontrol dan terkendali antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu buah amandemen UUD 1945 dan pembentukannya tentu akan menjadikan sebuah konstitusi menuju kearah yang lebih demokratis. Undang-undang Dasar hasil amandemen telah mempertegas bahwa eksistensi warga negara Indonesia diakui sebagai manusia merdeka yang mempunyai hak asasi, selain kewajiban asasi. Itu berarti Undang-undang Dasar hasil amandemen memandang warga negara sebagai makhluk individual sekaligus sebagai mahkluk sosial. Sebagai makhluk individual, warga negara Indonesia dan siapapun yang bertempat tinggal di Indonesia memiliki hak asasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 dan 28A-28J, dan kewajibannya sudah diatur di dalam Pasal 27, 30 dan 31 Undang-undang Dasar 1945. Penerjemahan terhadap hak asasi warga negara tidak lagi hanya sebatas hak-hak yang diatur dalam pasal tersebut, melainkan menyangkut pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 juga telah menjadi bagian dari hak asasi setiap warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yakni sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan Undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu diperlukan agar suatu Undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum.

Pasal 24 C ayat (1) UUD 1954 yang mana Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Dasar pemikiran lahirnya mekanisme Judicial Review adalah untuk bagaimana caranya “memaksa” pembentuk Undang-undang taat kepada konstitusi, dalam hal ini agar tidak membuat Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Prinsip ini dinamakan prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law), yang merupakan syarat atau unsur utama paham negara hukum maupun demokrasi konstitusional. Oleh karena itu harus ada mekanisme hukum yang menjamin bahwa Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain dibawahnya tidak bertentangan dengan konstitusi.

Kewenangan memutus untuk pengujian konstitusionalitas peraturan harus menjamin bahwa Undang-undang yang menjadi landasan kehidupan bernegara harus benar-benar pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Persoalan hukum ini meletakkan norma yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting. Politik hukum dalam pembentukan Undang-undang terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi harus mampu diletakan pada kepentingan hak asasi warga negara. Politik hukum tersebut wajib berpijak pada asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Suatu Undang-undang dapat dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi baik jika pembentukannya dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun jika materi muatan (ayat, pasal, atau bagian) dari suatu Undang-undang itu yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, atau keduanya. Dengan kata lain, permohonan pengujian dapat dilakukan baik untuk pengujian formil maupun materil, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Mahkamah Konstitusi, yang biasa diistilahkan dengan pengujian konstitusionalisme.

Judicial Review merupakan suatu langkah yang tepat, ketika permasalahan bangsa hari ini berkaitan dengan produk Undang-Undang yang oleh dihasilkan DPR sama sekali tidak berpihak dan tidak memiliki dampak yang baik terhadap rakyat. produk Undang-Undang yang dibuat belakangan ini terkesan hanyalah memihak kepada high profie atau para pemilik modal. Maka selanjutnya peran mahkamah sangat menjadi titik penentu dalam memberikan keadilan terhadap rakyat yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan. Terlepas dari itu setiap upaya Judicial Review harus ditopang dengan independensi seorang hakim mahkamah konstitusi yang menjadi wakil tuhan di dunia, diharapkan kesembilan hakim tersebut tetap mampu menjaga independensi nya serta marwah mahkamah konstitusi. Dikarenakan posisi hakim dalam segi perekrutannya yang dipilih melalui proses politik oleh tiga lembaga negara dan beberapa hari yang lalu kita saksikan bersama bahwa Pemerintah telah memberikan berupa penghargaan kepada beberapa hakim konstitusi. Perihal ini menjadi sorotan tentu nya karena terdapat beberapa Undang-Undang yang sedang di proses oleh MK seperti UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja sebab itu marwah mahkamah dipertaruhkan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button