SIPPA ‘Mati’ Sejak 2023, Operasional PT IAM Diduga Ilegal dan Rugikan Negara

Bengkulusatu.com, Lebong – Borok manajemen PT. Indoarabica Mangkuraja (IAM) akhirnya pecah ke permukaan. Perusahaan perkebunan kopi Arabika yang bercokol di Desa Mangkurajo, Kecamatan Lebong Selatan ini, tertangkap basah menjalankan operasionalnya di atas landasan hukum yang rapuh.
Fakta mengejutkan terkuak: Surat Izin Pengusahaan Sumber Daya Air (SIPPA) perusahaan tersebut ternyata telah kedaluwarsa alias “mati” sejak tahun 2023. Temuan ini memicu dugaan kuat bahwa selama setahun terakhir, PT. IAM mengeruk sumber daya alam Lebong secara ilegal dan merugikan pendapatan negara.
Kebusukan administrasi ini tidak terungkap secara sukarela, melainkan hasil desakan aksi unjuk rasa massa dan aktivis di depan gerbang perusahaan. Dalam audiensi panas yang disaksikan aparat TNI dan Polri, manajemen PT. IAM tak bisa mengelak dan mengakui bahwa perpanjangan izin SIPPA mereka masih “dalam proses”.
Sebuah pengakuan yang terlambat, mengingat izin tersebut seharusnya diperbarui sebelum masa berlakunya habis.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Bengkulu mengonfirmasi fatalnya kelalaian ini. Chefran Junaidy, M.Si, Penata Perizinan Ahli Madya DPMPTSP Bengkulu, membenarkan status ilegal tersebut saat dikonfirmasi awak media.
“Kalau dilihat SK SIPPA-nya, itu sudah berakhir di tahun 2023,” tegas Chefran.
Ia menjelaskan bahwa SIPPA bukanlah “kartu sakti” seumur hidup. Izin ini wajib diperpanjang setiap tiga tahun sekali. Chefran bahkan mengapresiasi kontrol sosial media, karena kelalaian ini berdampak langsung pada hilangnya potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bengkulu dari sektor pajak air permukaan.
Reaksi keras datang dari Perkumpulan PAMAL. Penanggung jawab aksi, Arwan Basirin, menuding PT. IAM telah melakukan praktik bisnis yang cacat hukum.
“Kami menuntut tegas operasional perusahaan segera dihentikan. Kalau izin SIPPA-nya mati, berarti setiap tetes air yang mereka gunakan untuk operasional saat ini adalah ilegal. Ini cacat hukum!” seru Arwan dengan nada tinggi.
Arwan juga menyentil keras ketidakberdayaan pemerintah daerah. Ia menilai Gubernur Bengkulu dan Bupati Lebong seolah menutup mata terhadap praktik perusahaan “nakal” tersebut.
“Pemerintah daerah tidak tegas. Perusahaan pengemplang aturan seperti ini harus ditindak, bila perlu cabut izin usahanya,” tuntutnya.
Di tengah badai tudingan ini, manajemen PT. IAM memilih strategi “tutup mulut”. Upaya konfirmasi yang dilayangkan Dipatriot.com kepada Parlin Sihaloho sosok sentral yang menjabat Manajer Personalia, Keuangan, sekaligus Ketua Koperasi Plasma tidak berbalas. Pesan WhatsApp dan panggilan telepon diabaikan, memperkuat kesan adanya hal yang ditutupi.
Secara yuridis, posisi PT. IAM kini berada di ujung tanduk. Mengacu pada PP Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, beroperasi tanpa izin sah adalah pelanggaran serius.
Konsekuensinya tidak main-main. Selain sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan hingga pencabutan izin usaha pokok, PT. IAM juga berhadapan dengan isu pengemplangan pajak. Penggunaan air tanpa izin berarti tidak ada retribusi yang masuk ke kas daerah, sebuah kerugian nyata bagi pembangunan Bengkulu.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah. Publik Lebong menanti pembuktian nyali Gubernur dan penegak hukum: apakah hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu, ataukah PT. IAM akan terus melenggang mengeruk untung di atas izin yang telah mati? [red]




