Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Ergaomnes Final dan Mengikat

Oleh : OON MALANG SARI
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Berakhirnya zaman orde baru menghantarkan bangsa Indonesia pada masa reformasi, yang menghasilkan empat kali amademen UUD 1945, sehingga perubahan signifika UUD 1945 setelah amademen ialah lahirnya lembaga baru setelah konstitusi, kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkama Agung dan Mahkama kontitusi. Lahirnya lembaga konstitusi ini menjalankan kewenangan UUD 1945 pada pasal 24 c UUD 1945
Putusan Mahkama konstitusi itu bersifat erga omnes yaitu putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tidak hanya berlaku terhadap pihak yang bersengketa tetapi juga berlaku dan ditaati untuk siapa saja artinya bersifat umum mengikat semua pihak ini merupakan salah satu pembeda antara MK dengan peradilan lainnya, dimana jika pengadilan pidana dan juga perdata itu putusan terikat hanya pada para pihak. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundangundangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.
Sedangkan frase “mengikat” berarti menguatkan atau mencengkram, sesuatu yang harus ditepati atau perjanjian yang mengharuskan kedua belah pihak menepatinya dengan sungguh-sungguh. Final dan mengikat memiliki arti yang saling terkait, yang berarti akhir dari suatu proses pemeriksaan, kemudian telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Putusan Mahkama Konstitusi bersifat fina termasuk jenis putusan akhir. Sejelan dengan bunyi Pasal 10 Ayat (1) Huruf d Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, yang isinya berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Artinya suatu putusan yang bersifat final and binding itu tidak ada upaya hukum, itulah mengapa dalam putusan mahkama konstitusi tidak mengenal upaya hukum seperti pradilan di bawah mahkama agung. Memiliki ‘kekuatan mengikat’ artinya, sebagai konsekuensi logis dari putusan yang bersifat final (pertama dan terakhir), putusan Mahkamah Konstitusi akan langsung berlaku mengikat bagi seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, kedudukan hakim Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, juga menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sebagaimana hukum yang diciptakan oleh para pembentuk undang-undang lainnya (DPR dan Presiden). Meski sudah dicantumkan dengan tegas bahwa putusan mk itu bersifat ergaomnes, seringkali putusan MK tidak dipedulikan atau dipatuhi oleh organ pembentuk undang-undang dan/atau pihak – pihak lainnya, apalagi jika kata final dan mengikat tersebut tidak dicantumkan secara berdamping, maka dikahwatirkan terjadi penafsiran bahwa putusan yang bersifat final belum tentu mengikat.
Mengutip hasil penelitian yang dilakukan tiga dosen universitas trisakti pada tahun 2019 dengan judul “Constitutional Compliance Atas Putusan Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan” yang disampaikan Ketua MK Anwar Usman dalam Penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019 di Gedung MK Jakarta, Selasa (28/1/2020) ketua mahkama konstitusi anwar usman mengatakan ada tiga kategori tingkat kepatuhan terhadap putusan MK yakni dipatuhi seluruhnya, dipatuhi sebagian, dan tidak dipatuhi. Hasil temuannya itu: dipatuhi seluruhnya sebanyak 59 putusan (54,12 persen); dipatuhi sebagian sebanyak 6 perkara (5,50 persen); tidak dipatuhi sebanyak 24 perkara (22,01 persen). Sisanya 20 putusan (18,34 persen) belum dapat diidentifikasi secara jelas dengan berbagai alasan.
Anwar usman menilai masih adanya pembangkangan konstitusi. Ketidakpatuhan terhadap Putusan MK, selain bertentangan dengan doktrin negara hukum, juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Betapapun konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi dalam bernegara, ia tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak ditegakkan dan ditaati
Berdasarkan hasil penelitian tersebut masih banyak putusan mahkama konstitusi yang tidak dipatuhi padahal putusan mk itu bersifat erga omnes yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Keputusan MK yang tidak dilaksanakan akan mencorengkan kewibawaan dari Mahkama Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi dan juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap MK. Kondisi tersebut mengakibatkan putusan MK tidak mempunyai makna, walaupun MK tidak memiliki organ untuk melaksanakan eksekusi putusannya seperti pengadilan negeri, tetapi semua pihak wajib mematuhi putusan tersebut dan saran penulis jika ada kendala dalam melaksanakan putusan tersebut maka pihak yang terkait dapat berkomunikasi dengan dengan mk meskipun putusannya tidak ada upaya hukum tetapi MK perlu mencari solusi bagaiman melaksanakan putusannya.