Tanah Pribadi “Dicaplok” Bangunan Sekolah, Warga Lebong Seret Pemkab ke Meja Hijau

Bengkulusatu.com, Lebong – Sengketa agraria yang melibatkan fasilitas pendidikan kembali menyeruak di Kabupaten Lebong. Bertahun-tahun menanti kepastian tanpa jawaban, Sukardi, seorang warga setempat, akhirnya menempuh jalur hukum. Ia menggugat Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong atas dugaan penyerobotan lahan miliknya yang kini telah berdiri bangunan permanen SDN 75 Lebong.
Gugatan ini menjadi tamparan keras bagi tata kelola aset daerah, mengingat pembangunan fasilitas publik diduga dilakukan di atas tanah warga tanpa sepeser pun ganti rugi maupun proses pembebasan lahan yang sah.
Tak main-main, melalui kuasa hukumnya dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Antasena Lebong, Sukardi mendaftarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Pengadilan Negeri (PN) Tubei dengan Nomor Perkara: 6/Pdt.G/2025/PN Tub.
Empat pihak duduk di kursi tergugat: Kepala Sekolah SDN 75 Lebong (Tergugat I), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Tergugat II), Kepala Badan Keuangan Daerah (Tergugat III), hingga Bupati Lebong (Tergugat IV). Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lebong turut ditarik sebagai Turut Tergugat.
Dwi Agung Joko Purwibowo, S.H., advokat dari PBH Antasena, menegaskan bahwa langkah hukum ini diambil setelah upaya mediasi di pengadilan menemui jalan buntu (deadlock). Pihak pemerintah daerah dinilai tidak memberikan solusi konkret atas hak kliennya yang terampas.
“Klien kami mengklaim sebagian gedung SDN 75 dibangun melewati batas sertifikat milik sekolah dan mencaplok area tanah pribadi milik Pak Sukardi. Ironisnya, pembangunan itu dilakukan tanpa musyawarah, tanpa pembebasan lahan, apalagi ganti rugi,” ujar Agung dengan nada tegas, saat dikonfirmasi mengenai perkembangan kasus ini, Senin (24/11/2025).
Saat ini, persidangan telah memasuki tahapan Jawaban dari Para Tergugat. Agung menyebut tindakan para tergugat adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan tanah yang dilindungi undang-undang.
Kasus ini memunculkan ironi mendalam. Sebuah institusi pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kepatuhan hukum, justru berdiri di atas lahan yang didapat melalui cara yang diduga melanggar hukum.
“Masyarakat harus menyoroti ini. Gedung sekolah adalah fasilitas publik, seharusnya dibangun dengan prosedur yang benar, bersih, dan tidak merugikan rakyat kecil. Ini justru terbalik, pemerintah membangun di luar sertifikat yang mereka miliki,” tambah Agung.
Lebih jauh, Dwi Agung menilai gugatan ini bukan sekadar soal ganti rugi materi, melainkan sebuah peringatan keras (warning) bagi Pemkab Lebong. Kasus ini membuka kotak pandora mengenai semrawutnya inventarisasi aset tidak bergerak milik pemerintah daerah.
“Gugatan ini harus jadi momentum evaluasi total. Pemerintah Daerah harus menata dan menertibkan aset mereka agar dikelola secara tertib, akuntabel, dan sesuai hukum. Jangan sampai ada lagi warga yang tanahnya diambil diam-diam atas nama pembangunan,” pungkasnya.
Kini, bola panas berada di tangan majelis hakim PN Tubei. Publik menanti, akankah palu hakim berpihak pada rakyat yang menuntut haknya, ataukah tembok kekuasaan terlalu tebal untuk ditembus? [trf]




