Hukum & Politik

Jejak Uang Haram Skandal Rp200 Miliar: Taipan Asal Jakarta Dijerat Pasal Pencucian Uang Mega Mall Bengkulu

Bengkulusatu.com, Bengkulu – Cincin pengepungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu semakin rapat. Benteng pertahanan finansial yang dibangun para petinggi PT Tigadi Lestari kini mulai runtuh setelah penyidik mengoyak lapisan baru dalam skandal korupsi Mega Mall dan PTM Bengkulu. Tiga taipan asal Jakarta kini resmi menyandang status tersangka ganda: korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebuah tuduhan yang menelanjangi upaya mereka menyamarkan jejak uang haram hasil penjarahan aset daerah.

Trio penguasa perusahaan Kurniadi Benggawan (Direktur Utama), Heriadi Benggawan (Direktur), dan Satriadi Benggawan (Komisaris) resmi dijerat dengan pasal pencucian uang pada Rabu (16/7/2025). Ini bukan sekadar pasal tambahan; ini adalah eskalasi strategis yang mengubah peta permainan dalam pengusutan skandal yang ditaksir merugikan negara hingga hampir Rp 200 miliar.

Langkah ini adalah sinyal bahwa Kejaksaan tidak hanya memburu pelakunya, tetapi juga bertekad merebut kembali setiap rupiah aset yang telah “dicuci” dan disembunyikan.

“Setelah pendalaman, kami menemukan bahwa hasil korupsi telah dialihkan untuk membeli aset-aset pribadi. Atas dasar itu, selain pasal korupsi, mereka kini kami jerat dengan TPPU,” tegas Kasi Penyidikan Kejati Bengkulu, Danang Prasetyo, dalam konferensi pers yang menandai titik balik penyelidikan ini.

Intelijen Kejaksaan berhasil melacak jejak dana panas yang mengalir deras keluar dari Bengkulu, bermetamorfosis menjadi properti mewah di kota lain seperti Palembang. Beberapa aset kunci telah dibekukan, namun perburuan besar masih berlangsung. Setiap transaksi mencurigakan kini berada di bawah mikroskop penyidik.

Akar Konspirasi: Membajak Aset Publik Sejak 2004

Skandal ini adalah cerita tentang pembajakan korporat yang terencana. Akarnya tertancap sejak 2004, ketika aset paling strategis milik Pemda Bengkulu “disulap”. Status lahan yang semula Hak Pengelolaan Lahan (HPL) diubah menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama perusahaan swasta.

SHGB itu kemudian menjadi tiket emas. Dipecah dan digadaikan ke bank untuk mendapatkan dana segar miliaran rupiah. Saat kredit macet, mereka tidak menyelesaikannya. Sebaliknya, aset yang sama digadaikan lagi ke bank lain, menciptakan lingkaran setan utang yang tak berujung.

Hasilnya? Selama puluhan tahun, kas daerah Bengkulu tidak menerima satu sen pun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Rakyat Bengkulu hanya menjadi penonton, sementara aset mereka dijadikan mesin uang pribadi.

Penjeratan pasal TPPU ini lebih dari sekadar proses hukum; ini adalah upaya merebut kembali martabat dan kekayaan daerah yang telah dijarah secara sistematis. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana kejahatan kerah putih dapat merampok masa depan sebuah daerah dari balik meja rapat dan dokumen legal. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang terlibat, tetapi seberapa dalam dan luas jejaring konspirasi ini telah mengakar, dan apakah negara mampu memulihkan luka finansial yang telah menganga selama dua dekade?. [Trf]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button