Dua Pjs Kades Kompak Mangkir Lagi Sidang PTUN, Legitimasi SK Perangkat Desa Jadi Sorotan

Bengkulusatu.com, Lebong – Aroma pembangkangan menguar pekat dari ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk kesekian kalinya, kursi Tergugat yang disediakan untuk Penjabat (Pjs) Kepala Desa Tunggang dan Semelako Atas kembali kosong. Sikap mangkir berjamaah ini bukan sekadar preseden buruk, tetapi menjadi sinyal kuat yang meng-amplifikasi dugaan adanya cacat hukum fatal dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) pengangkatan perangkat desa baru, yang kini legitimasinya dipertaruhkan di meja hijau.
Panggung peradilan yang semestinya menjadi arena pembuktian kebenaran, kembali menjadi panggung sepi pada sidang lanjutan sengketa administrasi negara ini. Ketidakhadiran kedua Pjs Kades tanpa keterangan resmi kepada Majelis Hakim dinilai sebagai tindakan yang tidak hanya mengabaikan panggilan hukum, tetapi juga merendahkan marwah institusi peradilan itu sendiri.
Baca juga : Diduga Pecat Perangkat Desa, Dua Pjs Kades di Lebong Digugat Serentak ke PTUN Bengkulu
Dwi Agung Joko Purwibowo, S.H., kuasa hukum para perangkat desa yang menggugat, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Baginya, sikap para Tergugat adalah cerminan arogansi birokrasi yang mencoba lari dari tanggung jawab.
“Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap proses hukum. Kehadiran mereka vital untuk mempertanggungjawabkan produk hukum yang mereka terbitkan. Jika mereka yakin benar, mengapa harus takut hadir di pengadilan?” cetus Agung dengan nada tajam.
Fokus gugatan ini menguliti dua persoalan fundamental yang membuat SK pengangkatan perangkat desa baru menjadi rapuh. Pertama, SK tersebut diduga terbit tanpa melalui mekanisme wajib, yakni rekomendasi dari Camat. Kedua, dan yang paling krusial, SK tersebut adalah “SK Bisu”—sebuah keputusan pengangkatan yang tidak pernah diresmikan melalui prosesi pelantikan dan pengambilan sumpah janji.
“Sebuah SK tanpa pelantikan itu ibarat raga tanpa nyawa. Itu cacat hukum secara formil,” tegas Agung.
“Pelantikan adalah syarat mutlak yang mengesahkan jabatan. Tanpa itu, bagaimana mereka bisa menjalankan wewenang? Bagaimana bisa honorarium mereka dibayarkan oleh negara? Ini membuka gerbang ketidakpastian hukum dan berpotensi menjadi bom waktu yang akan merugikan Pjs Kades itu sendiri,” tambah Agung.
Merasa perjuangan di tingkat daerah menemui tembok, Agung dan timnya kini menyiapkan langkah eskalasi. Laporan komprehensif akan segera dilayangkan ke meja Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Bengkulu, menuntut evaluasi total terhadap implementasi Permendagri No. 67 Tahun 2017.
“Regulasi dari pusat itu bersifat mengikat, bukan tafsiran bebas. Permendagri adalah pagar hukum yang harus ditaati untuk menjaga tertib administrasi. Kami akan suarakan ini hingga ke tingkat tertinggi, karena ini bukan lagi sekadar soal jabatan, tetapi soal penegakan aturan dan keadilan di Kabupaten Lebong,” pungkasnya.
Majelis Hakim PTUN akhirnya memutuskan untuk menunda persidangan dan akan menjadwalkan pemanggilan ulang. Sidang berikutnya dipastikan akan memasuki babak inti, yakni pemeriksaan pokok perkara, setelah agenda pemeriksaan syarat formil dan materiil dinyatakan selesai. Harapan kini tertumpu pada sidang selanjutnya, akankah kedua Pjs Kades tersebut akhirnya menunjukkan batang hidungnya untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya di hadapan hukum, atau kembali memilih jalan sunyi untuk mangkir. [Trf]