Artikel & Opini

Darurat Konflik Agraria: No Land, No Life

Oleh : Elfahmi Lubis**

Konflik antara masyarakat/petani dengan perusahaan perkebunan besar dan perusahaan tambang, selalu berulang. Bahkan, eskalasi konflik yang terjadi setiap tahun terus mengalami peningkatan. Sepertinya tidak upaya yang nyata dan komprehensif untuk mengurai akar persoalan konflik serta mencari solusi permanen untuk mengatasinya. Pemerintah seperti gamang dan cenderung gagap dalam setiap menyelesaikan konflik agraria antara perusahaan skala besar dengan masyarakat.

Sikap gamang ini tidak jarang disinyalir karena berkelindannya kepentingan atas nama “mengamankan” investasi para investor dengan kewajiban negara memproteksi hak-hak rakyat yang tanah dan lingkungannya terampas/terenggut oleh korporasi besar. Pemerintah dalam banyak kasus dituding selalu tidak berpihak pada rakyat dalam relasi konflik yang terjadi. Akibatnya, ditengah keputusasaan itu tidak ada pilihan lain bagi rakyat kecuali menggunakan kekuatan moral dalam bentuk protes dan perlawanan dengan dukungan masyarakat sipil untuk memaksa pihak yang berkepentingan turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi. Dilapangan rakyat juga harus berhadapan dan bergesekan dengan aparat keamanan, yang dalam kenyataannya kondisi ini semakin menambah runyam dan memperburuk konflik yang terjadi.

Dalam melihat taksonomi konflik yang terjadi, konflik pertambangan dan agraria, sebagai akibat relasi hak yang tidak berkeadilan. Korporasi yang merasa sudah mengontongi izin usaha pertambangan (IUP) dan HGU (untuk perusahaan perkebunan skala besar), seolah-olah boleh melakukan apa saja, termasuk melakukan perusakan lingkungan dan merampas hak-hak adat dan komunal masyarakat. Dalam konteks ini terjadi relasi kuasa dan dikuasai. Secara teori jika terjadi pola relasi yang tidak sama, maka pasti akan melahirkan konflik. Kehadiran negara itu penting ketika terjadi relasi yang tidak berkeadilan seperti ini, dalam rangka untuk memastikan tidak satu pun pihak yang dirugikan, baik korporasi maupun rakyat. Disini kalo kita lihat peran pemerintah “mandul”.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat sepanjang 2020 sampai sekarang eskali konflik antara rakyat dengan perusahaan perkebunan besar dan perusahaan tambang, terus meningkat. Mulai dari kasus perampasan lahan, kasus kriminalisasi warga, dan kekerasan.

Penanganan konflik agraria membutuhkan rasionalitas yang tinggi. Peningkatan konflik juga dapat diketahui dari tingginya peningkatan kegiatan eksploitasi. Dari sini kelihatannya ada korelasi atau keterkaitan antara peningkatan kegiatan eksploitasi dengan konflik yang terjadi. Kendatipun demikian, konflik terjadi bukan karena adanya kegiatan eksploitasi melainkan kegiatan yang terkait eksploitasi yang menimbulkan konflik.

Penambahan investasi sektor pertambangan dan perkebunan skala besar selalu menyebabkan terjadinya konflik. Untuk memahami penyebab terjadinya konflik pertambangan dan agraria, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa berlaku The Principle of Social Justice. Prinsip tersebut pada intinya mengharuskan semua orang berhak atas persamaan untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik, ekonomi, serta kondisi lain. Adapun kelima prinsip tersebut ialah, Access (mendapatkan akses), Equity (ketidakberpihakan), Diversity (Keanekaragaman), Participation (Penyertaan/partisipasi), Human right (Hak Asasi Manusia). Prinsip tersebut harus dipenuhi untuk mencapai keadilan sosial. Prinsip tersebut telah berkembang menjadi filosofi, teori hukum, bahkan telah menjadi naluri.

Adapun yang dimaksud dengan the principle of social justice dalam hal pemanfaatan sumber daya (kekayaan) alam mengutip Rachman Wiriosudarmo (5/112020) dalam Kuliah Khusus Pertambangan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), sebagai prinsip dalam kaitan kemanfataan. Dalam hal kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu wilayah yang dikembangkan dengan biaya sosial maka setiap orang harus mendapat kemanfaatan. Pemerintah adalah pihak yang berkewajiban memberikan kemanfaatan tersebut kepada masyarakat. Apabila pemerintah gagal memberikan kemanfaatan, maka masyarakat akan menuntut kemanfaatan itu dari pengembang kekayaan alam

Konflik tidak terjadi begitu saja tapi ada penyebabnya. Ada faktor struktural dan ada faktor kontekstual serta faktor yang mendorong konflik itu sendiri. Dari situ terlihat pemicu banyaknya konflik. Faktor struktural terdiri atas kebijakan pemerintah yang liberal dan ekstrativist (intervionist measures). Kebijakan yang liberal akan menyebabkan konflik antar korporasi dan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kegiatan pertambangan dan perkebunan skala besar yang dilakukan oleh korporasi terlampu bebas sementara peran pemerintah tidak hadir. Di sisi lain, konflik terjadi karena pemerintah lebih banyak fokus pada pendapatan finansial sehingga kepentingan masyarakat terabaikan.

Adapun kebijakan yang extractivist atau interventionist measure dapat menyebabkan terjadinya konflik antara pemerintah dengan korporasi serta pemerintah dengan masyarakat. Konflik bisa terjadi karena korporasi mendapat tekanan dari pemerintah, karena adanya kepentingan nasional yang menjadi prioritas serta karena kepentingan masyarakat terabaikan.

Faktor kontekstual lebih disebabkan karena faktor pertanahan atau persoalan lahan, faktor lingkungan hidup dalam hal ini ialah pencemaran, faktor kemiskinan atau kesenjangan sosial. Faktor kontekstual lainnya disebabkan oleh faktor budaya dan tatanan sosial, politik lokal dan pertentangan kepentingan dalam masyarakat.

Pemicu konflik dalam sektor pertambangan dan perkebunan itu sering dikarenakan ingkar dari perjanjian, permintaan yang meningkat (the rising demand), kepentingan pihak luar (provokasi), faktor echo effect (efek gema), ada faktor respon negatif oleh pemerintah/parlemen serta faktor the rising demand dari masyarakat. Masyarakat yang dimaksud tentunya masyarakat di sekitar pertambangan dan perkebunannyang terdampak.

Alternatif Penyelesaian Konflik

Pendekatan yang dilakukan dalam penanganan konflik terdiri atas pendekatan kompensasi dan pendekatan partisipasi yang selama ini banyak digunakan oleh perusahaan dalam penanganan konflik. Pendekatan kompensasi ialah pendekatan yang menggukan beberapa faktor. Pendekatan ini sulit karena menentukan standar besaran harga, tidak pernah memuaskan, negosiasi antara pihak yang tidak berimbang. Sehingga dari sini seperti menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak.

Pendekatan berikutnya yang biasa digunakan yaitu pendekatan partisipasi. Pendekatan partisipasi dilakukan melalui pendekatan keterlibatan sejak awal. Pendekatan melalui keterlibatan sejak awal kemudian berlanjut yang membutuhkan penjelasan terus-menerus tentang kegiatan. Dari dua bagian pendekatan partisipasi tersebut mengharuskan adanya kejujuran dan transparansi. Pendekatan lain dari partisipasi ialah dengan keterlibatan seluruh warga masyarakat sekitar tambang. Sayangnya pemerintah lebih mendahulukan pendekatan kompensasi dan partisipasi dalam penanganan konflik ketimbang menggunakan pendekatan keadilan sosial.

Bagaimana dengan penyelesaian konflik pertambangan dan agratia melalui jalur hukum ? Cara ini paling itu tidak disukai. Hal itu karena prosesnya “bertele-tele”, membutuhkan biaya. Pplroses yang terbaik ialah mediasi. Proses mediasi ini harus dilakukan oleh pihak netral, menguasai dan memahami permasalahan.

Masih mengutip Rachman (2020k, Indonesia masih sedikit yang memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam mediasi konflik pertambangan dan agraria. Jadi penyelesaiannya tidak mesti dilakukan melalui jalur hukum. Konflik pertambangan dan agraria sebenarnya terjadi karena proses diawalnya sudah bermasalah, terjadi kendala dalam komunikasi sosial. Misalnya pihak communicaton relation dari perusahaan yang tidak mengerti kondisi sosial masyarakat sekitar tambang dan perkebunan justru dapat menimbulkan konflik.

Berdasarkan pengalaman semua penyelesaian konflik pertambangan dan agraria melalui jalur hukum atau pengadilan, itu tidak menguntungkan kedua bela pihak dalam jangka panjang. Karena menurutnya belum APH tentu memahami dengan benar permasalahan. Aparat penegak hukum cenderung hanya mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan bersifat legalistik, apalagi jika misalnya yang menyangkut permasalahan masyarakat adat. Seharusnya ada satu lembaga khusus yang menangani konflik pertambangan dan agraria. Misalnya direktorat jenderal konflik yang menangani sejumlah konflik. Konflik pertambangan dan agraria memiliki karakter khusus. Sementara itu, terkadang permasalahan pertambangan dan agraria diurusi oleh kementerian sektor lain, misal Kementerian Lingkungan, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan/Pertanian, dan lembaga lainnya yang terkait. ***

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button