Omnibuslaw di Tengah Pandemi

Oleh : Fieri Dwi Laksono
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Sebuah seruan aksi yang menandakan awal dari perjuangan, mosi tidak percaya merupakan bentuk `kekecewaan aksi akibat dari disahkannya bentuk UU baru yaitu Omnibuslaw. DPR yang pada akhirnya mengirimkan draf final UU Cipta Kerja kepada pemerintah seakan menjadi bencana dan menimbulkan kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pengesahan UU Omnibuslaw ini dilakukan secara terburu-buru dan dianggap bahwa pengesahan aturan UU Omnibuslaw ini isinya menyengsarakan rakyat. Hal tersebutlah yang membuat masyarakat Indonesia seakan marah dan menggelar seruan aksi se Indonesia pada 5 Oktober 2020.
Terjadi protes besar-besaran di 18 Provinsi di Indonesia yang menentang Omnibuslaw selama delapan hari setelah pengesahan. Banyak pendemo yang ditangkap, terluka, dan ditahan. Banyaknya kekerasan juga kerapkali terjadi pada seruan aksi tersebut. Ada beberapa tuntutan aksi yang melakukan protes dan menentang UU Omnibuslaw ini yaitu :
pertama, mendesak Presiden untuk mengeluarkan PERPPU demi mencabut UU Cipta Kerja yang telah di sah kan pada senin , 5 Oktober 2020.
kedua, mengecam tindakan pemerintah yang berusaha mengintervensi gerakan dan suara rakyat atas penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
ketiga, mengecam berbagai tindakan represif Aparatur Negara terhadap seluruh massa aksi.
terakhir, mengajak Mahasiswa Seluruh Indonesia bersatu untuk terus menyampaikan penolakan atas UU Cipta Kerja hingga UU Cipta Kerja dicabut dan dibatalkan.
Pengesahan UU Omnibuslaw ini dilakukan tanpa adanya pembahasan UU Cipta Kerja, hal tersebut lah yang membuat pengesahan UU tersebut tampak tergesa-gesa. Didalam pengadilan juga terdapat dua Fraksi yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS yang menolak pengesahan UU Omnibuslaw ini, yaitu Benny K. Harman dari Fraksi Demokrat bersitegang yang melakukan protes dengan pimpinan rapat, begitu juga dengan Amin AK dari Fraksi PKS yang mana menyebutkan ada beberapa hal dalam RUU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan rapat juga dengan sengaja empat kali mematikan microfon bagi para anggota dewan yang melakukan protes dan memicunya untuk meninggalkan rapat (walk out) dan menyatakan tak bertanggung jawab terhadap UU Cipta Kerja.
Setelah dihujani banyak protes oleh para anggota dewan dan Fraksi, akhirnya UU Omnibuslaw ini tetap disahkan pada jam 17.52 WIB
Namun pada saat pengesahan terjadi, draf UU Omnibuslaw ini belum merupakan draf final, masih ada penambahan draf yang dilakukan DPR, hingga dokumen setebal 812 halaman yang beredar pada 12 Oktober malam menjadi draf resmi dan final.
Sebenarnya, UU Omnibuslaw ini memang bisa menjadi pilihan efektif dan efisien bagi pemerintah untuk melakukan reharmonisasi dan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Namun ada beberapa pasal didalam UU Omnibuslaw ini yang menimbulkan kontroversi dan dianggap merugikan kaum buruh. Pasal – pasal tersebut yaitu :
Pasal Bermasalah Tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja
Pasar 77A
RUU Cipta Kerja menambahkan pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap. Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.
Pasal 88C
RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
Pasal 88D
Dalam RUU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. “Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif“. Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional.”
Pasal 91
Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 93 Ayat 2
RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a). RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Pasal Bermasalah Tentang Lingkungan Hidup di RUU Cipta Kerja
Pasal 88
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja. Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Namun pemerintah menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Pasal 93
Pemerintah dikritik karena ada upaya penghapusan partisipasi publik. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.” Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus.”
Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja
Pasal 11
Terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers. “Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”. Pengubahan pasal ini, berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini. pasal 18 perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Pasal 51 ayat (1)
Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 62 ayat (1)
Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.
Pembahasan UU Omnibuslaw ini tidak seharusnya dilakukan karena UU Omnibuslaw ini di sahkan pada saat terjadinya pandemic Covid-19 yang melanda Indonesia, pemerintah yang seharusnya menangani kasus pandemic Covid-19 ini karena sudah semakin merebak dan semakin parah, bukan hanya akibat bagi masyarakat yang ditimbulkan, namun juga dampak nya dirasakan oleh Negara malah membahas pengesahan RUU Omnibuslaw menjadi UU utuh. Banyak Negara yang mengalami penurunan pendapatan dan pada sektor pendidikan terjadi proses belajar mengajar yang tidak maksimal dan dilakukan secara daring atau online melalui aplikasi, sehingga karena hal tersebut, sumber daya manusianya kian menurun karena dampak pandemic Covid-19 ini.
Pembahasan UU Omnibuslaw ditengah pandemic ini dirasa tidak tepat karena penanganan terhadap kasus covid-19 ini haruslah segera ditangani agar tidak semakin bertambah parah, namun pada kenyataanya, pemerintah justru bertindak tergesa – gesa dan terburu- buru untuk segera mengesahkan RUU Omnibuslaw menjadi UU.
Pengesahan UU Omnibuslaw yang telah terjadi ini apabila ingin melakukan protes dan jika ada seseorang yang ingin UU Omnibuslaw ini di uji lagi maka, pengujian tersebut adalah dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, itulah jalan terakhir yang bisa dilakukan apabila masih ada yang keberatan akan UU tersebut.