APBDes ‘Siluman’ Tanpa Musdes: Siapa Berani Menjamin Tak Jadi Bom Waktu?

Oleh : Wilzen Tra Apriza
Anggaran desa disahkan secepat kilat. Efisien, kata sebagian. Tapi, apakah kecepatan ini sejalan dengan kepatuhan? Di balik angka-angka yang mungkin disetujui tergesa, ada satu panggung demokrasi yang rawan dilangkahi, bahkan sengaja diabaikan: Musyawarah Desa (Musdes). Sebuah ironi, mengingat APBDes, yang notabene adalah uang rakyat, justru bisa lahir tanpa suara rakyat itu sendiri. Pertanyaannya, jika Musdes—forum tertinggi itu—diabaikan, apakah APBDes masih sah di mata hukum?
Musdes, ini bukan sekadar basa-basi, bukan pula arisan desa yang bisa ditunda atau ditiadakan sesuka hati. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 54, tegas dan tak bisa ditawar: Badan Permusyawaratan Desa (BPD) wajib menyelenggarakan Musdes untuk membahas dan menyepakati hal strategis. Lalu, apa yang lebih strategis dari APBDes, yang menentukan nasib dana desa, arah pembangunan, dan hajat hidup orang banyak selama setahun penuh?
Tidak berhenti di situ. Permendesa PDTT Nomor 16 Tahun 2019 hingga Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, semua berteriak hal yang sama: rancangan APBDes harus dibahas dalam Musdes. APBDes itu sendiri disusun berdasarkan RKPDes, yang juga—sekali lagi—harus lahir dari rahim Musdes. Jadi, jika mata rantai ini putus, jika Musdes sengaja ‘dihilangkan’, maka APBDes itu kehilangan dasar partisipatif-nya. Ia menjadi produk bisu, tanpa legitimasi suara warga.
Mengapa Masih Ada Kepala Desa yang Berani ‘Bermain Api’?
Lantas, mengapa masih ada kepala desa yang seolah alergi dengan Musdes? Sejumlah dalih klasik kerap terdengar:
- Takut dikritik? Apakah seorang pemimpin harus takut pada suara rakyat yang memilihnya? Musdes adalah ruang kontrol, bukan ajang penghakiman jika semua berjalan benar.
- Ingin jalan pintas demi ‘efisiensi’? Efisiensi macam apa yang mengorbankan partisipasi dan potensi cacat hukum? Ini bukan efisiensi, ini pemangkasan hak publik.
- Tidak paham aturan? Di era informasi ini, ketidakpahaman seorang pemimpin atas aturan fundamental adalah kemewahan yang tak bisa ditoleransi. Atau, jangan-jangan, ini bukan tidak paham, tapi memilih untuk tidak mau paham?
- Ada motif tersembunyi? Ini yang paling mengkhawatirkan. Ketiadaan Musdes membuka celah bagi penyelundupan program-program tak transparan, yang mungkin hanya menguntungkan segelintir pihak.
Menghindari Musdes adalah langkah berbahaya. APBDes yang lahir dari proses cacat berpotensi dibatalkan. Seluruh kegiatan yang dibiayai darinya bisa dianggap ilegal. Ini bukan lagi soal administrasi, tapi soal integritas dan kepatuhan hukum.
Konsekuensi Hukum yang Mengintai, Bukan Isapan Jempol!
Jangan anggap remeh. Menetapkan APBDes tanpa Musdes bukan sekadar kesalahan prosedural yang bisa selesai dengan permintaan maaf:
- Dana desa bisa diobok-obok inspektorat atau BPK. Setiap rupiah akan ditelisik keabsahannya.
- Kepala desa dan perangkatnya bisa berhadapan dengan aparat penegak hukum. Undangan klarifikasi hingga pemeriksaan intensif bukan hal mustahil.
- Jika terbukti ada kerugian negara, pintu pidana terbuka lebar. Siapa yang mau bertanggung jawab jika ini terjadi?
Musdes sejatinya bukan beban, tapi benteng pertahanan demokrasi dan transparansi di garda terdepan. Di sanalah suara rakyat didengar, anggaran menjadi milik bersama, bukan alat segelintir elit yang ingin bermain aman di zona nyaman mereka.
Lalu, Apa Solusi dan Langkah Konkretnya? Ini Bukan Lagi Wacana!
Jika kita sepakat bahwa Musdes adalah harga mati, maka tindakan nyata harus segera diambil:
1. Untuk Kepala Desa dan Perangkat Desa:
- Kembali ke Khitah! Baca, pahami, dan laksanakan UU Desa dan seluruh peraturan turunannya. Musdes adalah amanah, bukan pilihan.
- Buka Ruang Dialog! Jangan anti kritik. Musdes adalah sarana mendapatkan masukan berharga. Fasilitasi dengan benar, sediakan informasi yang utuh.
- Transparansi Sejak Dini! Publikasikan draf RKPDes dan RAPBDes sebelum Musdes, agar masyarakat bisa mempelajari dan memberikan masukan yang konstruktif.
2. Untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD):
- Ambil Peran Sentral! Anda adalah penyelenggara Musdes. Pastikan ia berjalan demokratis, partisipatif, dan sesuai aturan. Jangan hanya menjadi stempel.
- Jadilah Pengawas yang Kritis! Jika ada indikasi Pemdes ingin melangkahi Musdes, BPD harus menjadi yang pertama mengingatkan dan meluruskan.
3. Untuk Masyarakat Desa:
- Jangan Apatis! Musdes adalah hak Anda. Hadir, bersuara, bertanya, dan kawal setiap keputusan. Anggaran desa adalah uang Anda.
- Bentuk Kelompok Pengawas Independen (jika perlu): Untuk memastikan proses berjalan transparan dan akuntabel.
4. Untuk Pendamping Desa, Aktivis, dan Jurnalis Lokal:
- Edukasi dan Advokasi Tanpa Henti! Terus sosialisasikan pentingnya Musdes. Dampingi desa yang membutuhkan.
- Nyalakan ‘Lampu Sorot’! Publikasikan praktik baik, namun jangan ragu mengangkat praktik buruk sebagai pembelajaran dan tekanan publik.
5. Untuk Pemerintah Kabupaten/Kota (Inspektorat, DPMD):
- Verifikasi Ketat! Jangan hanya menerima laporan di atas kertas. Pastikan Musdes benar-benar dilaksanakan sebelum APBDes disetujui dan dana desa dicairkan.
- Sanksi Tegas dan Jelas! Berikan sanksi administratif hingga penundaan pencairan dana bagi desa yang terbukti melanggar. Efek jera itu penting! APBDes yang cacat hukum, jangan ragu untuk meminta revisi atau bahkan pembatalan.
Karena memotong jalur Musdes demi APBDes ‘instan’ adalah pertaruhan besar. Pertaruhan dengan hukum, dan yang lebih penting, pertaruhan dengan kepercayaan rakyat. Desa yang kuat tidak dibangun dari keputusan diam-diam, tapi dari musyawarah yang jujur dan terbuka. Tanpa Musdes, APBDes berpotensi menjadi bom waktu. Pertanyaannya, kapan ia akan meledak, dan siapa yang akan menjadi korban? Jangan sampai kita hanya bisa berkata, “Sudah saya duga.” Mari bertindak, sebelum terlambat.
Baca juga : Tanpa Musdes Penetapan APBDes, Pjs Semelako Atas Diduga Ajukan Pencairan DD -ADD