Pasca Ditandatangani Oleh Presiden Permohonan Pengujian Undang-Undang Ciptakerja ke MK Bertambah

Oleh : Anisyah Rhetiana
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)
Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sangketa kewenangan lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Dalam kurun waktu 17 (tujuh belas) tahun ini, khususnya sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003, pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review) merupakan suatu hal yang sering terjadi di Indonesia. Hal tersebut untuk mewujudkan supremasi Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini Undang-Undang Dasar menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati oleh seluruh komponen bangsa meliputi lembaga negara, cabang-cabang kekuasaan negara, sampai pada level terendah: rakyat (grassroot). Undang-Undang yang akan dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah Undang-Undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020. Undang-Undang tentang Cipta Kerja seringkali dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Semenjak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ditandatangani oleh Presiden, permohonan pengujian Undang-Undang tersebut bertambah.
Berdasarkan data yang didapat dari website resmi Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 6 November 2020 terdapat permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Elly Rosita Silaban sebagai Pemohon I dan Dedi Hardianto sebagai Pemohon II. Permohonan tersebut diterima oleh Panitera dengan Nomor Tanda Terima 2048/PAN.MK/XI/2020. Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dan pengujian materil. Untuk pengujian formil pemohon menyampaikan bahwa pemerintah tidak memasukan unsur pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dalam satgas. Artinya pemerintah tidak bersedia melibatkan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dalam pembahasan RUU Penciptaan Lapangan Kerja. Pembahasan dan persetujuan bersama DPR dan Pemerintah dipercepat. Sedangkan untuk pengujian mateil pemohon menyampaikan Pasal 42 ayat 3 huruf c, Pasal 57, Pasal 61 ayat 3, Pasal 61 a ayat 1, Pasal 89, Pasal 90 B, Pasal 154 a, Pasal 156, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171, Pasal 172 Bagian kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Pemohon beranggapan bahwa Pasal-pasal yang dimohonkan mengurangi Hak-Hak Asasi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dari apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang ketenagakerjaanan. Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan alasan bahwa materi muatan Bab IV bertentangan dengan Filosofis Pancasila, dan materi muatan Bab IV Cipta Kerja secara sosiologis tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat/buruh, secara yuridis materi muatan Undang-Undang tidak menyelesaikan masalah-masalah perbedaan dan hubungan industrial, sehingga tidak memiliki kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, pada tanggal 13 November 2020 terdapat permohonan mengenai Pengujian UU Ciptaker pula yang diajukan oleh Herman Dambea. Permohonan tersebut telah diterima oleh Panitera dengan Nomor Tanda Terima 2050/PAN.MK/XI/2020. Pemohon mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 33 UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Pasal 28 Huruf (F) dan Huruf (J) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tanggal 16 November 2020 diajukan permohonan oleh Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (TAB FSP TSK SPSI) yang diwakilkan oleh Roy Jinto Febrianto sebagai Ketua Umum, Moch. Popon sebagai Sekretaris Umum, dan kawan-kawan. Pemohon mengajukan pengujian formil dan pengujian materil. Dalam permohonan pengujian formil pemohon berpendapat bahwa pembentukan Undang-Undang Ciptaker dinilai tidak mengikuti prosedur baku yang telah diatur, dimulai dari perencanaannya secara diam-diam dan tertutup tanpa dilibatkannya masyarakat luas salah satunya keterlibatan buruh/pekerja, justru hanya melibatkan Pengusahan-Pengusaha dan elit politik saja. Pengujian Materil yang dimohonkan Bab IV KETENAGAKERJAAN bagian kedua Ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja yaitu: Pasal 81 Angka 1, Pasal 13 Ayat (1) Huruf c, Angka 2 Pasal 14 ayat (1), Angka 3 Pasal 37 Ayat (1) Huruf b, Angka 4 Pasal 42, Angka 12 Pasal 56 Ayat (3) dan Ayat (4), Angka 13 Pasal 57, Angka 14 Pasal 58 Ayat (2), Angka 15 Pasal 59, Angka 16 Pasal 61 Ayat (1) Huruf c, Angka 20 Pasal 66, Angka 23 Pasal 79 Ayat (2) Huruf b, Angka 24 Pasal 88, Angka 25 Pasal 88 Ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C, Angka 30 Pasal 92, Angka 37 Pasal 151, Angka 38 Pasal 151A, Angka 42 Pasal 154A, dan Angka 44 Pasal 156 Ayat (4) Huruf c.
Oleh karena itu, banyaknya permohonan yang meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian karena Undang-Undang Cipta Kerja baik secara langsung maupun secara tidak langsung sangat merugikan hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, antara lain pengurangan upah, penghapusan lama kontrak atau hubungan kerja dalam pola Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), perluasan outsourcing, pengurangan pesangon, ketakutan para pekerja buruh menjadi anggota dan/atau pengguna pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan/atau menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh.