Daerah

Jerat Fee Oplah 20% dan Dilema Petani Lebong: Antara Takut Membuka Fakta atau Terancam Penjara

Bengkulusatu.com, Lebong – Aroma tak sedap dugaan pemotongan dana Optimalisasi Lahan (Oplah) Non Rawa senilai Rp11,6 miliar di Kabupaten Lebong kian menyeruak. Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebong telah memanggil 120 kelompok petani penerima bantuan untuk mengurai benang kusut praktik “fee siluman” sebesar 20 persen yang diduga diminta oleh oknum Kepala Bidang di Dinas Pertanian dan Perikanan. Namun, di balik upaya penegakan hukum, tersimpan dilema besar bagi para petani: memilih bungkam dan berisiko terjerat hukum, atau berani bersuara melawan praktik korupsi yang membayangi kesejahteraan mereka.

Panggilan maraton oleh Kasi Pidsus Kejari Lebong, Robby Rahditio Dharma, SH, MH, sejak Senin (20/10/2025), menjadi babak baru dalam mengungkap tabir dugaan pemotongan dana Oplah Non Rawa. Total 123 kelompok P3A, Poktan, dan Gapoktan yang mengelola dana puluhan hingga ratusan juta rupiah kini dihadapkan pada pertanyaan krusial: “Apakah ada pemotongan dana?”

“Hampir semua kelompok sudah hadir dan kami sudah memberikan penjelasan serta menanyakan langsung apakah ada pemotongan dana. Sampai saat ini, tidak ada kelompok yang mengakui adanya pemotongan tersebut,” ungkap Robby.

Jawaban yang seragam ini, menurut Robby, membuat penyidik harus menunggu hasil fisik proyek di lapangan. Setiap kelompok, kata dia, bahkan diminta menandatangani surat pertanggungjawaban dan pernyataan tertulis yang menegaskan tidak ada pemotongan dana. Sebuah langkah antisipatif, namun juga berpotensi menjadi bumerang jika proyek fisik kelak tidak sesuai spesifikasi. Tiga kelompok lainnya masih dijadwalkan ulang pemanggilannya.

“Kalau di lapangan ternyata pekerjaannya sudah sesuai dengan ketentuan, berarti tidak ada masalah. Namun jika ditemukan ketidaksesuaian atau indikasi pemotongan, tentu akan kami tindaklanjuti,” tegas Robby, mengisyaratkan bahwa pemeriksaan fisik menjadi kunci utama pembuktian.

Dana Oplah ini bervariasi, dari yang terbesar diterima P3A Air Sejahtera, Desa Talang Liak I, Kecamatan Bingin Kuning, sebesar Rp386 juta, hingga terkecil yang disalurkan ke Poktan Rawa Makmur, Desa Ketenong II, Kecamatan Pinang Belapis, sebesar Rp32,2 juta. Jumlah yang tidak sedikit dan sangat krusial bagi peningkatan produktivitas pertanian di Lebong.

Namun, di balik sikap bungkam para petani, tokoh pemuda Lebong, Anjar, SH, MH, melihat adanya ancaman serius. Anjar menyayangkan sikap “takut” para kelompok tani untuk membeberkan fakta sebenarnya, meskipun mereka mungkin adalah korban pemaksaan.

“Apabila kelompok tani takut membeberkan, maka siap-siap akan konsekuensi yang terjadi ke depannya. Namun mereka memilih bungkam, dan menandatangani surat bermaterai, tentu itu hal yang bisa dikatakan menjerumuskan diri sendiri,” ujar Anjar dengan nada prihatin.

Menurut Anjar, jika terbukti ada pemotongan dan proyek fisik tidak sesuai standar, maka para petani yang akan menanggung akibat hukumnya. “Dimana, saat proyek yang mereka kerjakan tidak sesuai spesifikasi atau RAB, maka mereka yang masuk penjara, bukan oknum yang meminta fee kemarin hari. Itu bumerang atau bom waktu,” tegasnya, menggambarkan skenario terburuk yang bisa menimpa para petani.

Lebih jauh, Anjar mengingatkan bahwa tindakan menutupi permintaan fee ilegal dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum. Hal ini dapat dijerat Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan kejahatan dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

“Namun apabila mereka kedapatan memberikan keterangan palsu, maka dapat dijerat Pasal 220 KUHP serta Pasal 242 KUHP, yang menjerat saksi atau ahli yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah saat persidangan,” tambah Anjar, memberikan gambaran lengkap tentang konsekuensi hukum yang menanti jika para petani tetap memilih jalur “aman” dengan kebohongan.

Kasus dugaan korupsi dana Oplah ini menjadi ujian bagi transparansi dan integritas di sektor pertanian Lebong. Sementara Kejari berupaya mencari bukti, nasib ratusan petani kini berada di ujung tanduk.

Akankah mereka terus bungkam dan terancam jerat hukum, ataukah keberanian akan muncul demi membersihkan praktik kotor yang merugikan mereka sendiri? Masa depan pertanian Lebong dan kredibilitas pemberantasan korupsi di daerah ini akan sangat bergantung pada pilihan yang mereka ambil. [trf]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button