Nasional

Perkara Tabat Lebong – BU Mulai Disidang MK

Bengkulusatu.com, Jakarta – Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong, Bengkulu melakukan pengujian Pasal 1 Angka 10 dan Huruf a Penjelasan Umum Angka II Tentang Perkembangan Daerah-Daerah Otonom Lama di Sumatera Selatan Bagian Huruf b Tentang Kabupaten Sub Bagian I Angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1956 dan Undang-Undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Termasuk Kotapraja, Dalam Lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Sebagai Undang-Undang (UU Drt 1956) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Perkara Nomor 71/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul bertindak sebagai Panel Hakim.

Pemohon yang diwakili oleh Gugum Ridho Putra selaku kuasa hukum menyatakan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5); Pasal 25A; Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28I ayat (3); dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945. Lebih jelas, Gugum menyebutkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebong Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang, pihaknya berwenang untuk mengurus masyarakat adat pada beberapa kecamatan dalam suatu wilayah administratif. Dan hingga 2018 telah ditetapkan dan diakui sejumlah 12 masyarakat hukum adat Rejang yang berdiam pada 6 enam kecamatan, yakni Kecamatan Uram Jaya, Pelabai, Lebong Selatan, Topos, Rimbo Pengadang, dan Lebong Atas. Masyarakat hukum adat tersebut telah mendiami wilayah seluas 9.766,1 Ha dengan jumlah penduduk 10.300 jiwa.

Terkait pengujian dengan norma karena ketidakjelasan cakupan wilayah administratif dan batas-batas wilayah pemerintahan daerah Kabupaten Bengkulu Utara berdampak pada sengketa tapal batas wilayah, terutama di Kecamatan Padang Bano dan di sebagian dari 18 desa pada 6 kecamatan lainnya yang berada pada tapal batas yang ditetapkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2015. Atas ketidakjelasan ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara melegitimasi wilayah dengan memasukkan masyarakat di daerah tersebut ke dalam wilayahnya tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat untuk menentukan sendiri cara mereka melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan budayanya. Sehingga Pemohon melihat ini sebagai suatu bentuk pertentangan dengan jaminan yang ada dalam UUD 1945. Selain itu, atas ketidakjelasan cakupan wilayah ini, Pemohon juga tidak dapat melindungi hak-hak masyarakat Marga Suku Sembilan dan Marga Selupu yang merupakan masyarakat asli Rejang. Tak hanya itu, Pemohon juga tidak dapat menerbitkan keputusan bupati untuk melindungi eksistensi budaya, bahasa, dan adat dari entitas masyarakat yang ada di sana.

“Ketidakjelasan cakupan wilayah administratif dan batas-batas wilayah pemerintahan daerah Kabupaten Bengkulu Utara dalam undang-undang pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara melegitimasi wilayah kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara tanpa batas, melegitimasi penggunaan kewenangan pemekaran kecamatan tanpa batas hingga melewati wilayah administratif pemerintahan daerah lain, melanggar hak masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan menurut prakarsanya sendiri,” sebut Gugum dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Bukti Batas-Batas Wilayah

Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Majelis Sidang Hakim Panel meminta bukti adanya kesepakatan tentang batas wilayah untuk Bengkulu Utara dan Lebong. Hal ini juga terkait dengan Permendagri yang menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas, sehingga perlu ada tambahkan bukti agar terlihat permasalahan intinya. “Keterambilan itu tidak diatur, sementara ada aturan yang sudah menentukan batas-batas tersebut,” jelas Enny.

Berikutnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyikapi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong dan Pemerintah Daerah Bengkulu Utara bagian dari lembaga negara. Manahan mempertanyakan persoalan yang dihadapi ini dapatkan tergolong pertentangan antarlembaga negara yang juga menjadi kewenangan MK. “Jika tidak bisa di JR ke MA, apakah ini memang sengketa kewenangan lembaga negara? Jadi ini perlu dielaborasi bahwa ini benar atau bukan sengketa antarkewenangan lembaga negara,” nasihat Manahan.

Selanjutnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengilustrasikan persoalan yang dihadapi Pemohon ini dengan hal yang pernah diputus MK dalam suatu permohonan. “Karena ini masalah sifatnya open legal policy, sehingga Mahkamah tidak punya kemampuan meneliti lebih jauh karena butuh penelitian yang mendalam dan hal yang ada pada persidangan hanya bisa menghadirkan saksi, ahli,” urai Arief.

Pada akhir persidangan, Arief mengingatkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Untuk selanjutnya naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya hingga Senin, 7 Agustus 2023 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (**)

Sumber : Rilis MK (mkri.id)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button