Foto Resmi Bupati Jadi ‘ATM Berjalan’? Pj Kades di Lebong Dipaksa Beli dengan Harga Selangit Oleh Tiga Oknum Berbeda

Bengkulusatu.com, Lebong – Alih-alih menjadi simbol kewibawaan pemerintah, foto resmi Bupati dan Wakil Bupati Lebong justru diduga menjadi ‘komoditas panas’ yang diperjualbelikan dengan harga tak masuk akal. Praktik canggung beraroma tekanan ini terkuak setelah seorang Penjabat (Pj) Kepala Desa buka suara, mengeluhkan bagaimana dirinya ‘dihujani’ tawaran pembelian foto yang sama oleh tiga oknum berbeda, dengan banderol yang mencekik anggaran desa.
Praktik yang tak lazim ini ibarat drama tiga babak yang menempatkan para kepala desa di posisi serba salah. Kepada jurnalis, Rabu (18/6/2025), Pj Kades yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan, merinci kronologi ‘teror’ penawaran tersebut.
Babak pertama dibuka oleh seorang oknum berinisial A yang datang membawa satu set foto bupati dan wakil bupati. Tanpa basa-basi, ia menodongkan harga fantastis: Rp 1,5 juta. Belum sempat desa mengambil keputusan, babak kedua menyusul. Kali ini, sang camat sendiri yang datang menyerahkan foto serupa, menyebutnya sebagai titipan dari oknum berinisial M, dengan harga sedikit lebih rendah, Rp 1,3 juta.
Puncaknya, babak ketiga dimainkan oleh oknum lain berinisial B, yang juga menyodorkan set foto identik seharga Rp 1 juta.
“Kepala kami pusing. Foto yang sama datang tiga kali, dan semuanya minta dibayar. Kalau hanya satu, mungkin masih bisa kami carikan solusinya, walau berat. Tapi ini tiga sekaligus, sangat membebani kami,” keluh Pj Kades dengan nada frustrasi.
Ia menegaskan, pos anggaran untuk pengadaan atribut semacam itu tidak pernah ada dalam Dana Desa (DD).
Lebih dari sekadar persoalan harga, praktik ini dibumbui dengan tekanan moral yang kuat. Penolakan seolah menjadi pilihan mustahil. Menurut sang Pj Kades, para ‘penjual’ ini kerap mengasosiasikan diri sebagai “orang dekat” Bupati Azhari, sebuah klaim yang efektif membungkam keberanian aparat desa untuk menolak.
“Kami ini seperti ayam dilepas tapi talinya diinjak. Mau lari tidak bisa, diam pun sakit,” ujarnya menganalogikan posisi dilematis yang dihadapinya.
“Sebenarnya kami semua keberatan, tapi tidak ada ruang untuk melawan. Seandainya mereka bisa saling koordinasi atau bagi-bagi wilayah, mungkin masih ada logikanya. Ini semua main sendiri-sendiri, dan kami yang jadi korban empuk,” tambahnya.
Fenomena ini bukan sekadar keluhan personal, melainkan cerminan potensi penyalahgunaan relasi kekuasaan yang meresahkan. Praktik ini berisiko menggerogoti keuangan desa yang seharusnya diprioritaskan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk ‘setoran’ terselubung berkedok pengadaan foto.
Pj Kades tersebut berharap ada ketegasan dari Pemerintah Kabupaten Lebong untuk menertibkan praktik-praktik yang merusak citra birokrasi ini. Baginya, ini bukan lagi soal selembar foto, melainkan tentang martabat pemerintahan dan akuntabilitas pengelolaan dana publik.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada Bupati Lebong terkait dugaan praktik yang mencatut namanya ini masih terus diupayakan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan berimbang. [Traaf]