SK Mandek, Pemkab Gantung Nasib 221 THLT RSUD Lebong
Hampir Tujuh bulan tanpa upah, proses birokrasi yang berlarut-larut menempatkan ratusan tenaga kesehatan dalam ketidakpastian dan berpotensi melanggar standar akreditasi rumah sakit.

Bengkulusatu.com, Lebong – Nasib 221 Tenaga Harian Lepas Terdaftar (THLT) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Lebong kini terkatung-katung. Memasuki bulan ketujuh di tahun 2025, mereka terjebak dalam labirin birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) yang tak kunjung menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka. Akibatnya, hak fundamental mereka gaji tertahan tanpa kepastian.
Di garda terdepan pelayanan, para perawat, tenaga medis, dan staf pendukung ini terus menunaikan kewajiban dengan profesionalisme. Namun di balik seragam pengabdian mereka, tersimpan kekhawatiran mendalam. Dapur yang harus tetap mengepul dan kebutuhan keluarga yang mendesak menjadi beban sunyi yang mereka pikul setiap hari.
“Dari Januari sampai sekarang kami belum gajian. SK saja kami belum terima, jadi kami tidak tahu nasib kami ke depan seperti apa, padahal kami masih terus bekerja,” keluh salah seorang THLT yang meminta namanya tidak disebutkan, menyuarakan jeritan hati rekan-rekannya.
Plt Direktur RSUD Lebong, dr. Eni Efriyani, secara terbuka mengakui kondisi pelik ini. Namun, ia menegaskan bahwa bola panas tidak berada di tangan pihak rumah sakit. Menurutnya, keterlambatan ini murni disebabkan oleh proses administrasi yang mandek di tingkat pemerintah daerah.
“Kami masih menunggu terbitnya SK THLT dari Pemerintah Kabupaten. Ini bukan hanya terjadi di RSUD, tapi juga di seluruh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lainnya,” jelas dr. Eni.
Lanjutnya, Pihak RSUD telah menyelesaikan tugasnya dengan melakukan evaluasi dan finalisasi data seluruh THLT.
“Data final akan kami serahkan ke BKPSDM besok untuk ditindaklanjuti. Seluruh SK akan dikeluarkan oleh mereka,” tambahnya.
Ia pun mengarahkan awak media berkoordinasi lebih lanjut ke Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) selaku instansi teknis.
Sikap “lempar bola” ini menempatkan para honorer dalam posisi yang semakin sulit. Di satu sisi mereka dituntut mengabdi, di sisi lain kepastian hukum dan finansial mereka digantung oleh alur birokrasi antar-instansi.
Lebih dari sekadar krisis kemanusiaan, kondisi ini menguak potensi pelanggaran serius. Menurut standar manajemen sumber daya manusia, setiap tenaga kerja di rumah sakit wajib memiliki surat penugasan atau kontrak kerja yang jelas.
Bekerja tanpa SK tidak hanya melanggar hukum administrasi dan prinsip perlindungan tenaga kerja, tetapi juga berisiko membuat RSUD Lebong gagal memenuhi standar akreditasi nasional yang krusial bagi mutu dan kepercayaan publik.
Kini, semua mata tertuju pada Pemkab Lebong, khususnya BKPSDM. Kecepatan dan ketegasan mereka dalam menuntaskan tunggakan administrasi ini menjadi pertaruhan. Bukan hanya nasib 221 individu dan keluarganya, tetapi juga jaminan kualitas layanan kesehatan serta marwah tata kelola pemerintahan di Kabupaten Lebong. [Trf]