Artikel & Opini

Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mengawal Demokrasi Lokal

Oleh : Yuyun Kartika

Mahasiswa Fakultas Hukum dari Universitas Bengkulu

Mahkamah Konstitusi menurut Jimly Assidiqie, dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusi di tangah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai kelangsungan bernegara dan bermasyarakat.

Kewenangan mahkamah konstitusi dalam memutuskan perkara perselisihan hasil pemilihan umum ( PHPU) diimplementasikan lebih lanjut pada Pasal 23 C Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bahwa kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah yang semula berada di Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga Mahkamah Konstitusi berperan memastikan aturan main yang konstitusi dalam pelaksanaan domokrasi lokal, serta memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilukada yang telah dijadikan sebagai bagian dari pemilu.

Demokari lokal adalah impikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demikratis, sehingga terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan istilah “lokal” mengacu pada tempat praktik demokrasi itu berlangsung.

Pelaksanaan pemilukada telah dilangsungkan sejak tahun 2005, mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dilaksanakannya pemilukada bertujuan untuk menghasilkan kepala daerah pemerintahan daerah yang benar-benar memenuhi persyaratan, dan merupakan pilihan rakyat. Oleh karena itu, prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil harus menjadi spirit dalam pelaksanaan pemilukada.

Dalam mengawal pemilukada, terdapat 2 (dua) kewenangan Mahkamah Konstirusi (MK). Pertama, mengkaji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar contohnya Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan atas permohonan pemohon terkait undang-undang yang berkaitan dengan proses pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah. Kedua, dapat mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Kepala daerah.

Peran Mahkamah Konstitusi melalui pengujian undang-undang dapat dilihan dari undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terkait penyelenggaran pemilu. Putusan tersebut memunculkan norma-norma baru yang dapat menjadi dasar pijakan baru guna menyelenggarakan proses pemilukada.

Peran Mahkamah Konstitusi melalui penyelesaian perselisihan hasil pemelihan umum kepala daerah, pemilukada dimaknai sebagai bagian dari kegiatan pemilihan umum, sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Pada pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara hasil pemilihan umum daerah terdapat beberapa putusan yang menjadi kontrevensi akibat MK memutus untuk dilakukannya pemungutan suara ulang atas dasar terjadinya penyelenggaraan pemilukada yang mencederai demokrasi. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghitung kembali hasil perhitungan suara yang sebenarnya dari pemungtan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil perhitungan yang berselisih, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-mekanis sebenarnya bias dilakukan perhitungan kembali oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sendiri di bawah pengawasan Panweslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa. Hal tersebut dilakukan berdasarkan Indikator dari demikratis yaitu tegaknya asas yang ada dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang di dalamnya terdapat pemilihan umum kepala daerah yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.

Mahkamah Konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara PHPU.D yang dilaksanakan sejak 2008 sampai dengan perkara akhir 2011, menurut penulis dari perkaraperkara yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat diklasifikasikan berdasarkan pola dan sifat pelanggaran, pertimbangan hukum dan amar putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi dengan delapan model yang terurai sebagai berikut:

a) Pemungutan Suara Ulang dan Perhitungan Suara Ulang (Putusan Akhir). Putusan ini juga mempertimbangkan ruang lingkup “ sengketa pemilukada” sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi , yaitu: pertama, penyimpangan dalam proses dan tahapan pemilukada akan berpengaruh atas hasil kahir yang mengharuskan Mahkamah Konstitusi tidak bleh membiarkannya dan dinilai juga untuk menegakkan keadilan.

b) Pemungutan Suara Ulang dan Perhitungan Suara Ulang (Putusan Sela). Pelanggaranpelanggaran yang diputus sela sangat memiliki ciri beragam, baik dari sisi sebaran, pelaku, maupun kualitasnya.

c) Diskualifikasi Pasangan Calon. Perkara PHPU Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat adalah pertama kalinya sebuah perkara di Mahakamah Konstitusi diputuskan Pemenang (Kepala Daerah terpilih) dalam Pemilukada, yaitu pasangan nomor urut 2, Ujang Iskandar dan bambang Purwanto. Rangkaian pelanggaran Pemilukada di Mahkamah Konstitusi terbukti secara sah dan meyakinkan bersifat terstruktur, sistematis dan masif serta membahayakan demokrasi, bahkan disertai pengancaman terhadap pemilih.

d) Diskualifikasi Pasangan Calon Tidak Memenuhi Syarat. Adapun dua model diskualifikasi calon dalam putusan Mahkamah Konstitusi terurai sebagai berikut:Mendiskualifikasi Calon dan Memerintahkan Pemungutan Suara Ulang, Mendiskualifikasi Calon dan Menetapkan Pasangan Calon yang Berhak Mengikuti Pemilukada Putaran Kedua.

e) Pemilukada Ulang dikarenakan Calon tidak diloloskan oleh KPU. Dalan pola putusan ini didasarkan pada inkonsistensi, ketidakprofesionalan dan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) penyelenggara pemilu terkait pada tahapan pencalonan. Terbukti bahwa ada upaya KPU menghalang-halangi dengan tidak meloloskan meloloskan meloloskan pasangan calon tersebut, sehingga keduanya kehilangan hak konstitusionalitasnya untuk maju sebagai pasangan calon (right to be candidate).

f) Pemungutan Suara Pemilih yang Berhak Memilih. Dalam permohonan perkara PHPU Kabupaten Bangka Barat yang diajukan oleh pasangan Parhan Ali, Erwin masri, terbukti surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara tidak disampaikan kepada pemilih yang terdaftar dalam DPT dari ketiga TPS tersebut. Jumlah DPT adalah 1204, yang menggunakan hak pilih sebanyak 465 pemilih, yang tidak memilih 719 (59,7%).13 Jumlah 719 pemilih tersebut sangat signifikan mempengaruhi penghitungan perolehan suara bagi para calon.

g) Menetapkan Pasangan Terpilih. Dalam putusan perkara PHPU kabupaten Bengkulu Selatan yang dimohonkan pasangan calon nomor urut 8 (reskan Efendi, Rohidin Mersyah) tergolong memiliki karakter khusus, meskipun putusannya sama-sama dikabulkan seperti yang lain. Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini menetapkan H. Reskan Efendi, Rohidin Mersyah sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati dalam pemungutan suara ulang Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan tahun 2010.

h) Menetapkan perolehan suara yang Benar. Pada dasarnya amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan perolehan suara yang benar banyak diputus dalam perkara PHPU Legislatif tahun 2009.14 Dalam perkara PHPU Kepala Daerah yang diadili Mahkamah Konstitusi sejak 2008 sampai 2010, menurut penelusuran penulis , hanya terdapat sati-satunya perkara dengan terbukti terjadinya penggelembungan suara dan pengurangan suara di Kabupaten Manokwari, Papua Barat yang akhirnya diputus dengan amar putusan menetapkan perolehan suara yang benar. Oleh karena mengubah konfigurasi perolehan suara tersebut, sehingga MK menetapkan perolehan suara yang benar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button